Tugas Mata Kuliah Hubungan Industrial (PSdK)
Dosen:
Prof. DR. Susetyawan dan Bahruddin M.Sc.
“Sektor
Informal, Alternatif Pekerjaan di Negeriku yang Kaya”
Oleh:
Ida
Dian Jayanti
09/282030/SP/23371
JURUSAN
SOSIOLOGI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL POLITIK
UNIVERSITAS
GADJAH MADA YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
Indonesia, sebuah negara yang terletak
di belahan timur bumi. Memiliki iklim
tropis, dan dilalui ring of fire atau jalur pegunungan aktif. Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar yang
memiliki anugerah melimpahnya sumber daya alam. Kaya akan bahan tambang, hutan
yang hijau dan tanah yang begitu subur. Indonesia negara dengan penduduk
terpadat ke empat sedunia tentunya patut bersyukur akan karunia Tuhan atas
kekayaan sumber daya alam ini. Tanah yang subur tentunya membuat manusia
bahagia karena segala macam tanaman yang ditanam pastinya akan tumbuh subur dan
menuai hasil yang memuaskan. Hutan yang hijau memudahkan manusia bisa mengambil
kayu hutan untuk kepentingan perumahan, industri dan pangan manusia. Hasil
tambang yang melimpah seperti emas, perak, timah, dan lainnya pastinya bisa
membawa penduduk Indonesia menuju penghidupan yang lebih baik lagi. Tapi apakah
semua itu berjalan sesuai yang diharapkan? Jawabannya tidak, Indonesia negara
yang kaya namun penduduknya masih terbelenggu dalam garis kemiskinan.Negara
kita ini masih menjadi salah satu negara berkembang yang masih sangat
bergantung dengan negara maju. Penduduk kita juga masih dikatakan terbelakang,
padahal kita tau bahwa sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam
pembangunan bangsa ini. Penduduk negara kaya ini belum sepenuhnya mendapat
pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengangguran ada
dimana-mana. Upah atau gaji yang mereka
dapat pun tak sebanding dengan kerja keras mereka. Apa yang menyebabkan semua
ini???
Era globalisasi yang sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah
membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima
kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa.
Gobalisasi merupakan sebuah proses perubahan yang terjadi dan merupakan proses kehidupan,
meliputi proses ekonomi, proses politik dan proses kultural.[1]
Globalisasi kemudian menciptakan suatu perubahan baik itu perubahan sosial
ekonomi, politik maupun budaya. Perubahan ini mau tak mau harus dihadapi oleh
semua negara di dunia yang terdampak oleh globalisasi ini. Globalisasi yang merujuk pada universalitas
semua aspek kehidupan. Karena globalisasi pulalah kemudian negara kita ini
tumbuh dan berkembang menurut alur globalisasi yang sudah tercipta. Alur ini
kemudian membawa kita pada ketergantungan kita pada negara-negara yang sudah
maju dan memiliki berbagai sendi perekonomian. Implikasinya kemudian negara
kita tumbh dengan mengikuti gaya negara-negara maju tersebut.
Untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang
layak, seorang tenaga kerja di negara kita ini diharuskan mempunyai ijasah
pendidikan. Ijasah pendidikan tersebutlah yang kemudian akan menentukan di
posisi mana ia akan ditempatkan dan seberapa tinggi tenaga kerja itu akan
dibayar nantinya. Semakin tinggi pendidikan kemudian di identikkan dengan
pekerjaan enak dan penghasilan yang tinggi. Namun realitanya tidak demikian. Kini
ijazah tak lagi menjamin pekerjaan seseorang. Jangankan ijazah SMA, jebolan
perguruan tinggi pun tak selalu beruntung mendapatkan pekerjaan. Karena itu tak
heran, kalau angka pengangguran di Indonesia bagaikan bom waktu yang siap
meledak setiap saat.Badan Statistik Nasional (BSN mencatat jumlah pengangguran
di Indonesia hingga Februari 2010 mencapai 8,59 juta jiwa atau sekitar 7,41
persen dari total penduduk Indonesia. Ironisnya, lebih dari 2 juta diantaranya
adalah lulusan perguruan tinggi. [2]Inilah
kaum penggangguran berpendidikan. Jika yang berpendidikan tinggi saja susah
mendapatkan pekerjaan, bagaimana dengan yang hanya lulusan SMA atau dibawahnya?
Inilah ironi di negeri kita ini.
PEMBAHASAN
Sulitnya pekerjaan di negeri yang gemah
ripah loh jinawi ini kian lama kian menjadi dan seperti tak ada titik temunya. Pekerjaan
yang layak menuntut pendidikan tinggi dan keahlian khusus yang kita tau tidak
bisa dijangkau oleh semua penduduk kita. Kemudian sektor informal menjadi
alternatif pekerjaan yang dipilih oleh sebagian tenaga kerja kita. Sebelum
membahas Sektor Informal, berikut ini beberapa hal yang menurut saya
mempengaruhi betapa “mahalnya” pekerjaan saat ini.
Sumber Daya Manusia
(SDM)
Tenaga kerja yang akan masuk ke pasar
kerja hal pertama yang dinilai adalah
kualitas dirinya. Kualitas Sumber Daya manusia mempengaruhi kualitas
pembangunan suatu negara. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa penduduk negara
kita ini masih memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini dipengaruhi oleh
kesehatan dan juga pendidikan. Pendidikan menjadi hal terpokok dalam menilai
sebuah sumber daya manusia. Pendidikan dilihat tidak hanya menambah pengetahuan
tapi meningkatkan keterampilan atau keahlian seorang tenaga kerja. Yang
kemudian akan mempengaruhi produktivitasnya dalam pekerjaan. Produktivitas yang
tinggi berdampak pada pertumbuhan ekonomi, yang dapat meningkatkan penghasilan
si tenaga kerja tersebut.
Pendidikan untuk semua menjadi agenda
penting yang selalu menjadi program pemerintahan yang berkuasa. Namun itu tidak
bisa dilakukan di semua pelosok negeri ini karena ketiadaan biaya serta tidak
adanya fasilitas pendidikan. Walaupun saat ini kesadaran akan pentingnya
pendidikan sudah jauh lebih tinggi daripada 10-20 tahun yang lalu, namun itu
masih dalam tingkat dasar saja. Wajb belajar 9 tahun yang dicanangkan sejak
pemerintahan presiden Soeharto sampai sekarang memang sudah mendapat respon
baik sampai mesyarakat di pedalaman daerah, namun belum diimbangi dengan
fasilitas dan infrastruktur sekolah yang baik.
Di pedesaan karena sekolah yang masih jarang atau hanya berada di
kecamatan setempat, menyebabkan keengganan penduduk untuk sekolah. Masyarakat
juga kadang lebih senang menyuruh anaknya untuk tinggal di rumah membantu
mencari uang untuk membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, daripada
“membuang” uang untuk sekolah. Paradigma seperti ini masih sering kita lihat di
dalam masyarakat pedesaan. Kemiskinan yang merantai masyarakat khususnya di
pedesaan ini kemudian membuat anak-anak yang nantinya menjadi tenaga kerja
masuk ke pasar kerja informal atau bahkan menjadi Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri.
Permintaan Tenaga Kerja
Dalam
hubungannya dengan tenaga kerja, permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara
tingkat upah dan jumlah pekerja yang dikehendaki oleh pengusaha untuk dipekerjakan.
Sehingga permintaan tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai jumlah tenaga
kerja yang dipekerjakan seorang pengusaha pada setiap kemungkinan tingkat upah
dalam jangka waktu tertentu.[3]
Ada beberapa asumsi tentang tenaga kerja kaitannya dengan permintaan tenaga
kerja :
1. Semua
tenaga kerja adalah homogen. Berarti semua pekerja mempunyai tingkat keterampilan
yang sama dan dapat beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain tanpa biaya
latihan kerja.
2. Semua
pekerja dinilai mempunyai pengetahuan dan mobilitas yang sama.
3. Jumlah
tenaga kerja yang dapat diperoleh bagi lapangan pekerjaan diamsusikan sudah
tertentu dan bersifat tidak peka terhadap tingkat upah.
4. Semua
permintaan secara menyeluruh agregat telah tertentu.
5. Semua
harga produk dan upah bersifat fleksibel.[4]
Dari asumsi-asumsi diatas sangatlah
terlihat bahwa tenaga kerja dinilai sama, padahal satu orang dengan orang lain
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Permintaan tenaga kerja
sebenarnya ada banyak dan beragam namun kebanyakan meminta pendidikan tinggi,
keahlian khusus, serta pengalaman kerja yang tinggi. Hal ini kemudian memicu
banyaknya tenaga kerja yang terserap ke sektor-sektor industri yang rendah
(buruh) dan sektor informal yang nyata-nyata selalu dibutuhkan.
Menjadi buruh ataupun hanya bisa
bekerja di sektor informal menjadi satu-satunya harapan yang menerangi
kehidupan masyarakat kita khususnya yang tidak mempunyai keahlian dan
pendidikan. Padahal mereka tau bahwa menjadi pekerja di sektor informal
nantinya tak bisa merubah kehidupan
keuangan keluarga mereka. Hidup dengan bekerja di sektor informal masih jauh
dari kata sejahtera. Penghasilannya yang rendah serta tak menentu tambah
menjerat meraka, mau tak mau mereka terima karena hanya sektor itu yang mau
menerima mereka.
Pembangunan yaang Tidak Merata
Pulau
Jawa masih menjadi pusat pembangunan di negara kita ini. Lebih dari 60%
perputaran uang terjadi di Pulau Jawa. Pembangunan infrastruktur juga terpusat
di Pulau Jawa. Dari laporan Bank Dunia tahun 2004 lebih dari 50% investasi di
Pulau Jawa hannya mencakup 7% dari seluruh wilayah Indonesia.[5]
Wilayah perkotaan juga banyak ditumbuhi oleh sektor manufaktur dan industri
yang dinilai mampu menyerap angkatan kerja. Maka dari itu, Pulau Jawa khususnya
ibukota dan wilayah perkotaan menjadi incaran para pencari kerja karena menilai
perkotaan sumber uang dan pastinya banyak lowongan pekerjaan yang tersedia. Daya
tarik perkotaan seperti infrastruktur yang lengkap, kehidupan yang modern, dan
tentunya banyak lowongan pekerjaan memicu banyak tenaga kerja yang rela hijrah
dari kampung halaman untuk mencoba peruntungannya di perkotaan. Padahal patut
kita tau wilayah perkotan tidak seindah dan semudah yang dipikirkan dalam
khayalan. Karena banyaknya orang yang menumpuk di perkotaan, kemudian juga
memicu angka persaingan yang ketat pada semua aspek kehidupan termasuk dalam
hal mencari pekerjaan. Industri dan manufaktur yang tersedia di perkotaan juga
nyatanya hanya mampu menyerap sedikit angkatan kerja karena industri di kota
cenderung bersifat padat modal, menggunakan teknologi tinggi, yang kemudian membatasi
para pekerjanya, serta menuntut keterampilan pekerja yang tinggi. Lagi-lagi
masalah kualitas Sumber daya manusia para angkatan kerja kita yang
dipersoalkan.
Upah
Upah adalah bayaran berupa uang yang diberikan dari pemilik modal atau
majikan kepada pekerjanya. Sementara Upah
Minimum adalah
suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri
untuk memberikan upah kepada pekerja
di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak
di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi.[6] Upah
Minimum terdiri dari upah pokok ditambah tunjangan tetap dan pemberian yang
tidak didasari atas kehadirannya. Untuk tingkat provinsi, upah minimum
ditetapkan oleh Dewan Pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi
pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,unsur perguruan tinggi dan pakar
terkait. dasar hukum penetapan upah minimum, yakni Pasal 98 UU 13/2003 tentang
Keternagakerjaan; Keppres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan, Permenakertrans RI
01/1994 tentang Upah Minimum, Kepmenakertrans 49/2004 tentang Skala Upah, dan
Kepmenakertrans 231/2003 tentang Tata Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.[7]Upah
minimum kemudian ditetapkan setelah diadakan survey kebutuhan hidup layak (KHL)
untuk seseorang di tiap propinsi. Upah menggambarkan output produksi yang
memperlihatkan produktivitas seorang pekerja.
Masalah upah ini adalah masalah yang pelik
terutama untuk para kaum buruh. Mereka ingin mendapatkan upah yang sesuai
dengan hasil kerjanya namun di sisi lain mereka tidak punya pilihan selain
untuk terus bertahan bekerja karena tanggungan keluarga mereka di rumah dan
sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini.Yang paling menjadi sorotan masalah
adalah upah yang ada saat ini, upah standarnya adalah kebutuhan buruh yang
belum berkeluarga. Bayangkan apabila buruh tersebut mempunyai istri dan anak
yang harus makan dan bersekolah setiap hari. Persoalan inilah yang sekarang ini
memicu banyaknya unjuk rasa atau demonstrasi para serikat buruh atau pekerja
dalam memperjuangkan kenaikan upah mereka. Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Dewan Pengupahan masih menutup mata menghadapi
persoalan pengupahan buruh ini. Padahal buruh atau pekerja adalah sumber daya
manusia kita yang sangat berharga, penggerak roda perekonomian daerah dan
nasional. Tanpa mereka perusahaan-perusahaan besar tidak akan mampu terus
berdiri dan memproduksi barang-barang komoditas perdagangannya. Perlu ada jalan
keluar yang jelas dan tepat dalam menanggani masalah upah buruh ini, agar buruh
atau pekerja kita tidak terus menerus menjadi korban. Upah yang kecil kemudian
tetap diterima para pekerja, daripada tidak bekerja sama sekali.
Menjadi buruh dengan tingkatan paling
rendah di pabrik saja membutuhkan perjuanagan yang amat sangat berat. Karena
pekerjaan yang begitu susah, dan terdapat saingan yang begitu banyaknya, kemudian banyak tenaga kerja kita yang
kemudian terserap ke sektor informal
yang tidak perlu ijasah dan pendidikan yang tinggi. Apalagi bekerja di Sektor
informal yang sampai saat ini tidak ada pengaturan yang jelas dari pemerintah,
Sektor ini tidak mendapat perlindungan hukum, penghasilan yang mereka dapat pun
tergantung mereka sendiri. Bisa dikatakan
nasib mereka ada di tangan mereka sendiri,
SEKTOR INFORMMAL
Sektor informal kemudian muncul menjadi
alternatif pekerjaan yang bisa dijalani oleh angkatan kerja kita yang tidak
dapat terserap ke dalam pekerjaan formal baik itu di daerah pedesaan maupun
perkotaan. Istilah sektor informal pertama kali dikemukakan oleh Keith Hart tahun
1971, ia menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang
berada diluar pasar tenaga terorganisasi.[8]
Menurut keith hart sektor informal terdiri dari 2 macam bila dilihat dari
kesempatan memperoleh penghasilan, yaitu sah dan tidah sah.
1. Sah,
terdiri atas:
a. Kegiatan
primer dan sekunder: pertanian, perkebunan yang berorientasi pasar, kontraktor
bangunan.
b. Usaha
tersier dengan modal yang relatif besar: perumahan, trnsportasi, usaha-usaha
untuk kepentingan umum.
c. Distribusi
kecil-kecilan: pedagang kaki lima, pedagang pasar, pedagang asongan.
d. Transaksi
pribadi: pinjam-meminjam, pengemis.
e. Jasa:
pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, pembuang sampah.
2. Tidak
sah, terdiri dari:
a. Jasa:
kegiatan dan perdagangan gelap (lintah darat, penadah barang curian,
penyelundupan, pelacuran)
b. Transaksi:
pencurian kecil, pencurian besar, pemalsuan uang, perjudian.
Ciri-ciri sektor
informal menurut Hidayat (1978)
1. Kegiatan
usaha tidak terorganisir secara baik karena timulnya niat usaha tidak
memperhitungkan fasilitas atau kelembagaan yang ada di sektor formal.
2. Pada
umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha.
3. Pola
kegiatan usaha tidak beraturan baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.
4. Pada
umunya kebijakan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai
sektor ini.
5. Unit
usaha mudah keluar masuk dari sektor satu ke sektor lain
6. Teknologi
yang digunakan bersifat tradisional.
7. Modal
dan perputaran usaha relatif kecil sehingga skala operasi juga relatif kecil.
8. Untuk
menjalankan usaha tidak diperlukan pendidikan formal, yang diperlukan
pendidikan yang diperoleh sambil bekerja.
9. Pada
umumnya unit usaha termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya ,
dibantu dengan anggota keluarganya,
10. Sumber
dana dan modal usaha pada umunya dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan
yang tidak resmi.
11. Hasil
produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan kota atau desa yang
berpenghasilan rendah tapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.[9]
Sektor
Informal di Perkotaan
Sektor
informal dalam perkembangannya sekarang ini, cenderung tumbuh pesat di lingkup
perkotaan. Hal ini terjadi karena beberapa faktor antara lain faktor migrasi
desa ke kota atau urbanisasi. Urbanisasi kemudian menimbulkan banyaknya
angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan yang
kemudian memunculkan pengangguran. Perkotaan yang padat, menjadi sentral
mobilitas manusia dan pusat perputaran uang
kemudian dijadikan pangsa pasar bagi para pekerja sektor informal
tersebut. Di perkotaan kita bisa melihat pedagang kaki lima, pedagang asongan,
pedagang rokok, minuman ringan sampai koran menjajakan dagangannya di
pojok-pojok keramaian di perkotaan. Menurut sethuraman(1981) dalam Effendi,
Noer Tadjudin (1995:87) ,berdasarkan
survey yang dilakukan di kota-kota negara sedang berkembang, termasuk
Indonesia, didapatkan bahwa 20%-70% kesempatan kerja terdapat dalam kegiatan
yang disebut “sektor informal”. [10]
Sektor informal yang hadir kemudian memberikan tambahan penghasilan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah yang hidup di perkotaan. Berkurangnya
pengangguran karena terserap di dalam sektor informal ini kemudian bisa
berdampak pada pengurangan angka kemiskinan.
Sektor Informal
di perkotaan juga dipandang membawa dampak buruk untuk perkotaan itu sendiri.
Karena sektor informal kebanyakan hadir di tempat-tempat strategis di
perkotaan, maka keberadaanya kerap dipandang sebagai perusak keindahan kota dan
dituding sebagai penyebab kemacetan di perkotaan. Dan yang paling menyedihkan
sektor informal di perkotaan dianggap sebagai penyebab menurunnya kualitas
ingkungan hidup di perkotaan. Maka dari iu bisa kita liat bagaiman pemerintah
lewat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) nya mengusir para pekerja sektor
informal secara semena-mena dan tak berprikemanusian hanya karena para pekerja
tersebut dianggap merusak keindahan kota.
Kaitannya dengan teori
Ketergantungan
Masalah sektor informal ini memang cukup pelik, di
salah satu sisi sektor ini cukup membantu masalah ketenagakerjaan negara kita
yanng memang masih carut marut di sisi lain, sektor ini dianggap sektor
rendahan yang merusak keindahan wilayah perkotaan. Namun itu semua tidak akan
terjadi bila negara kita ini tidak tumbuh berkembang mengikuti arus pembangunan
seperti negara-negara maju. Negara kita yang masih termasuk negara terbelakang
dalam hal perekonomiannya, atau dalam kata halusnya termasuk negara berkembang,
merupakan negara bayang-bayang negara maju. Negara berkembang seperti negara
Indonesia ini memiliki ketergantungan yang sangat erat dengan negara-negara
maju, yang juga negara industri maju. Theotonio Dos Santos berpendapat Bila
sebuah negara berkembang ingin maju maka harus mengikuti negara-negara industri
atau negara maju baik dalam hal segi perencanaan wilayah maupun pembangunan.
Tetapi realitasnya negara pinggiran atau negara berkembang hanya dimanfaatkan
negara maju. Ini terlihat dari perdagangannya, negara berkembang masih
mengekspor barang-barang mentah , yang relatif lebih murah. Sementara negara
maju menghasilkan barang-barang jadi dan barang-barang industri yang dipasarkan
ke negara berkembang. Ketergantungan ini terus menerus terjadi , lebih rinci
lagi Dos Santos menguraikan bentuk-bentuk ketergantungan:
1. Ketergantungan
Kolonial ,Terjadi dominasi politik yang dilakukan negara maju terhadap negara
berkembang dengan cara mengontrol kegiatan ekonomi negara berkembang. Negara
maju memonopoli hasil bumi yang dihasilkan negara berkembang.
2. Ketergantungan
Finansial-Industri, Negara berkembang sudah secara hukum merdeka dari
penjajahan dari dominasi politik,sosial,penjajahan. Namun secara finansial dan
industrial negara berkembang masih dikuasai negara maju.
3. Ketergantungan
Teknologis-Industrial, Negara berkembang sudah mulai merembah tahap industri,
tetapi negara maju masih berperan besar dalam proses industri dengan cara
menginvestasikan modal mereka di negara berkembang. Negara berkembang masih
menggunakan modal teknologi dari negara maju yang merupakan barang sewaan
melalui perjanjian paten.[11]
Dengan menggunakan teori ketergantungan
ini, kita bisa melihat dan mengetahui bahwa negara kita ini seperti sekarng
ini, karena ketergantungannya yang akut pada negara maju. Nega kita ingin
terlepas dari keterpurukan dengan mengejar ketertinggalan melalui
industrialisasi dan pembangunan daerah di negerinya. Namun pembangunan yang
tercipta tidak mereta dan membuat ketidak rataan pembangunan yang berdampak
pada lapangan kerja. Efek Globalisasi yang melanda negeri kita, juga makin
memperparah keadaan ketenagakerjaan kita. Bentuk-bentuk ketergantungan dari Dos
Santos diatas juga terjadi secara konkrit dalam negara kita ini.
Industri-industri penyerap tenaga kerja kita
kebanyakkan merupakan industri investasi negara-negara maju. Industri
kita yang asli seperti PT Krakatau Steel malah mati dan tak mampu bersaing dengan
industri-industri besar milik negara maju. Industri-industri tersebut yang
memang menyerap tenaga kerja kita, namun memerukan spesifikasi keahlian khusus
dan hanya bisa menyerap sedikit angakatan kerja kita.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Timbulnya sektor informal sebagai sumber
kesempatan kerja di perkotaan merupakan manifestasi dari tidak sebandingnya
pertumbuhan agkatan kerja dengan kesempatan kerja di Indonesia ini. Ketidak
mampuan sektor formal menampung angkatan kerja yang jumlahnya bisa dikatakan
besar juga turut memperburuk keadaan.Sektor informal yang terus hadir juga
menjelaskan pada kita akan tingginya angka pengangguran, dan menggambarkan
bahwa sektor informal akan terus ada seiring pertumbuhan angkatan kerja kita
dari tahun ke tahun. Sektor informal merupakan katup penyelamat perekonomian
kita dan sebgai pengaman para pengangguran khususnya di perkotaan. Diperlukan
perlindungan dan pengarahan yang bersifat membina ke arah pengembangan agar
sektor informal ini tidak lagi dipandang sebagai sektor sebelah mata. Bagaimana
agar bisa terwujud? Diperlukan perhatian khusus pemerintah agar benar-benar mau
menangganinya. Lembaga-lembaga berbasis masyarakat yang konsen pada masalah
ketenagakerjaan dapat kita libatkan untuk membantu menanggani dan menciptakan
jalan keluar agar sektor informal bisa menjadi sektor perekonomian maju dan
tidak lagi dipandang sepele. Kita bisa mencontoh program relokasi yang
dilakukan kampus UGM. Sektor informal atau dalam hal ini adalah para PKL di
lingkungan kampus UGM dipindahkan ke tempat yang lebih baik dan tertata rapi.
Para PKL yang dianggap menganggu ini, oleh kampus UGM dipindahkan ke tempat
yang lebih strategis seperti di Food Court kampus, sekitar RS Sardjito, dan
Lembah UGM. Mereka diberikan infrastruktur seperti tempat yang teduh, sumber
air, dan meja kursi untuk berdagang, dan tempat makan para pengunjung. Penataan
ini, dimaksudkan agar para PKL tetap bisa berjualan, mencari penghasilan,
lingkungan kampus tetap tertata rapi dan bersih, dan yang paling penting tidak
memakai cara yang kasar seperti yang dilakukan para Satpol PP pada para
pedagangan ini.
Negara kita yang ingin membangun
negerinya hendaknya harus memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan
untuk semua warganya. Bisa dilakukan tanpa harus berkiblat pada ekonomi negara
maju yang sudah melesat jauh meninggalkan kita. Masalah Rendahnya Kualitas
sumber daya manusia kita yang merupakan
masalah inti dari masalah ketenaga kerjaan kita, bisa kita atasi melalui
pengembangn Sumber Daya Manusia sebagai jalan keluar kita, agar nantinya
angkatan kerja kita menjadi angkatan kerja yang tedidik. Pengembangan Sumber
Daya manusia kita melalui pendidikan formal, pendidikan keterampilan, dan
lokakarya padat karya mengenai modal dan ketenagakerjaan bisa dilakukan
pemerintah bila memang benar-benar ingin mewujudkan lapangan pekerjaan yang
layak untuk semua penduduknya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bellante, Don
dan Mark jackson. 1993, Ekonomi
Ketenagakerjaan. Jakarta: FEUI..
Effendi, Tadjudin Noer. 1995. Sumber Daya manusia Peluang Kerja dan
Kemiskinan. Yogyakarta:Tiara Wacana
Steger, Manfred. 2002. Globalisme. Yogyakarta: Lafadl pustaka.
Teori Ketergantungan Dos Santos,
diambil dari materi teori-teori
pembangunan dalam mata kuliah Sosiologi Pembangunan.
[1] Steger, manfred. 2002. Globalisme. Yogyakarta: Lafadl pustaka.
Hal 30 tentan globalisasi sebuah proses.
[2]
Diunduh dari kompas.com data tanggal 28/02/2010
[3]Pendapat Maimun
Sholeh (Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta) dari google.com
(permintaan kerja)
[4] Bellante, Don dan Mark jackson.
1993, Ekonomi Ketenagakerjaan.
Jakarta: FEUI. Hal 45 tentang permintaan tenaga kerja.
[5]
Diunduh darim.tempo.com majalah tempo online (pembangunan di Jawa)
[6]
Diunduh dari gajimu.com
[7]
Diunduh dari antaranews.com, diunduh pada tanggal 14 Desember 2011
[8]
Diunduh dari pondokinfo.com sektor informal Keith Hart
[9]
Diunduh dari google.com / buku online . ciri-ciri sektor informal
menurut Hidayat
[10] Effendi, Tadjudin Noer. 1995.
Sumber Daya manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta:Tiara Wacana hal
87 sektor informal di perkotaan
[11]
Teori ketergantungan Dos Santos, diambil dari materi teori-teori pembangunan dalam mata kuliah
Sosiologi pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar