PAPER
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Kapita
Selekta Sosiologi
Dosen: Prof. Sunyoto
Usman, M. Najib Azca, Ph.D, dan Oki Rahadianto, M.Si
“Pemuda
dalam Transisi”
Kubela
Rekan dan Sekolahku
(Tawuran
Antar Pelajar SMA)
Oleh:
Ida
Dian Jayanti
09/282030/SP/23371
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
Latar Belakang
Pemuda adalah orang muda Laki-laki;
remaja; teruna: para -- ini akan menjadi pemimpin bangsa; atau orang yg
masih muda; orang muda: - harapan bangsa;[1]
Pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita
perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan Negara bangsa dan agama.
Selain itu pemuda mempunyai peran sebagai pendekar intelektual dan pendekar social. pemuda dikatakan mempunyai ide-ide atau gagasan yang perlu
dikembangkan selain itu juga berperan sebagai perubah Negara dan bangsa ini.
Oleh siapa lagi membangun negara yang carut marut ini, kalau bukan oleh generasi
selanjutnya maka dari itu para pemuda harus memnpunyai ilmu yang tinggi dengan
cara sekolah ataumenimba ilmu sebanyak mungkin , dengan begitu bangsa ini akan
maju aman dan sentosa.
Pemuda selain mengemban tugas tersebut
juga dihadapkan pada kenyataan dimana dirinya tengah berada di masa transisi
diantara anak-anak dan dewasa. Pemuda punya waktu luang dan keinginan untuk
bersenang-senang. Dalam masa transisi atau perubahannya menuju kedewasaan
inilah, mereka kerap kali melakukan
perbuatan yang salah namun mereka anggap benar, dalam prosessnya mencari jati
diri. Jalan kekerasan menjadi jalan yang kerap dipilih para pemuda untuk penyelesaikan persilisihan
atau silang pendapat yang terjadi di dalam kehidupan bersekolahnya. bukannya
mencari ilmu disekolah para pemuda atau
dalam hal ini adalah pelajar malah tindakan tidak terpuji berkelahi dengan sesama pelajar lain atau bahkan
tawuran. Tawuran
merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok atau suatu rumpun masyarakat.[2]
Tawuran pelajar menjadi masalah pemuda yang umumnya masih berusia remaja.
Tawuran ini menajadi isu yang disoroti dan seperti tak pernah habis untuk terus
dibahas dan dikaji.
Dikota kita sendiri Yogyakarta, yang terkenal dengan nama kota pelajar,
tawuran juga dianggap sebagai hal yang sudah biasa dan menjadi rahasia umum di
masyarakat. Hampir di tiap sekolah, khususnya sekolah menengah atas atau SMA
baik negeri ataupun swasta mempunyai geng sekolah, dan melakukan aksi tawuran
dengan pelajar sekolah lain yang dianggap atau dicap sebagai musuh sekolah
mereka. “mode” tawuran pelajar ini juga terjadi di salah satu sekolah di
pinggiran kota Yogyakarta, yaitu Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Depok
Yogyakarta (SMA N 1 Depok).
Sekolah ini terletak di timur kota
Yogyakarta, tepatnya di Jalan Babarsari Yogyakarta, dapat ditempuh kurang lebih
selama 10- 15 menit dari pusat kota dengan kendaraan bermotor. Sekolah Menengah
ini termasuk sekolah negeri favorit, kerena aksesnya yang mudah, sarana dan
fasilitas yang lengkap , dan karena
prestasi akademiknya yang cukup bagus. Sekolah ini juga merupakan sekolah yang melahirkan artis ibukota seperti Plat AB
serta Citra Idol. Namun selain prestasi dan fasilitas yang bagus, sekolah ini
juga terkenal dengan tawuran yang
dilakukan oleh para pelajarnya. Bahkan
di sekolah ini juga terkenal dengan geng sekolahnya BBC (Barikade Bocah Cuek). Lalu
sebenarnya apa yang melatar belakangi para pelajar pemuda ini melakukan tawuran
yang jelas-jelas salah dimata hukum dan norma sosial masyarakat?
Rumusan
Masalah
Apa motif pelajar SMA N 1 Depok
Yogyakarta melakukan tawuran? Bagaimana melihat tawuran ini dari kacamata
sosiologis dan psikologis?
Tujuan
Melihat lebih dalam apa sebenarnnya
yang menyebabkan tawuran di kalangan pemuda, khususnya pelajar à
(SMA N 1 Depok Yogyakarta).
Mengetahui arti tawuran dimata para
mantan pelaku tawuran pelajar, ketika ia masih menjadi pelajar, dan setelah ia
lulus dari sekolah SMA N 1 Depok.
Kerangka Konseptual
Aliran Behaviorisme , atau
behavioristik , aliran psikologi ini melihat tingkah laku manusia dibenbtuk dan
dikontrol karena adanya stimulus dari lingkungan. Stimulus lingkungan inilah
yang membuat seseorang untuk merespons. JB. Watson mengemukakan jika tingkah
laku tersebut hanya dapat diamati secara nyata dan bukan yang tidak dapat
terlihat. Lebih lanjut BF Skinner berpendapat mengenai Stimulus Response dan
operant conditioning. Respon disebut sebagai operant karena operasional dalam
mendatangkan reinforcement. Asumsinya adalah peerilaku mengikuti hukum
perilaku, perilaku dapat diramalkan dan dapat dikontrol. Kemudian lebih lanjut
tingkah laku terbentuk karena hasil belajar dengan lingkungan. Belajar dari
lingkugan akan mempengaruhi kepribadian seseorang secara tidak langsung.[3]
Paradigma sosial-konflik, pandangan
yang melihat masyarakat sebagai arena tempat berlangsungnya konflik akibat
adanya kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai kelompok. Menurut Marx,
ditiap masyarakat terdapat kelas sosial yang mana berkuasa dan dikuasai.
Masyarakat terdiri dari sistem yang kompleks yang ditandai dengan ketidak
setaraan dan konflik.[4]
Metode Penelitian
Penelitian sederhana ini
menggunakan metode deskripsi kualitatif.
Secara umum penelitian kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang
bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi serta tindakan secara holistik dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Secara spesifik,
Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai bentuk tradisi
tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari
pengamatan pada manusia baik dalam kawasan maupun dalam peristilahannya. [5]Metode kualitatif merupakan metode yang dapat
digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik suatu fenomena sosial
dalam masyarakat. Metode kualitatif mampu memberikan rincian yang kompleks
tentang fenomena yang sulit diungkapkan metode kuantitatif lewat data yang
berbasis angka dan uji statistik. Karena melalui penyajian data kualitatif yang
bersifat deskriptif berupa kata-kata secara lisan maupun hasil dari pengamatan
tingkah laku manusia sebagai obyek yang diteliti. Dalam prosesnya metode ini
tidak mereduksi adanya kompleksitas dalam kehidupan sosial ke dalam bentuk
variabel-variabel yang berbeda seperti halnya metode penelitian kuantitatif.
[6] Hal tersebut dikarenakan tiap variabel yang
ada dalam fenomena sosial masyarakat saling berkaitan dan berhubungan satu sama
lain.
Secara umum pendekatan kualitatif
dibedakan menjadi dua yaitu diskripsi
kualititatf dan eksplanatif.
Metode diskripsi kualitatif bertujuan untuk memahami dan menjelaskan rentangan
perbedaan dan persamaan karakter yang melekat pada suatu fenomena. Perbedaan
dan persamaan karakter kemudian diletakkan sebagai basis eksplanasi.[7]Dalam
penelitian ini, deskripsi kualitatif digunakan sebagai mata pisau pembedaha
fenomena sosial pelajar yaitu tawuran yang terjadi di kalangan pelajar pemuda
SMA N 1 Depok Yogyakarta. Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua.
Pertama, sumber data primer. Sumber data primer merupakan sumber data utama
yang diperoleh dari penelitian lapangan. Terdiri dari hasil wawancara mendalam
(in-dept interview) yang dilakukan
terhadap informan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah 2 orang pelaku
tawuran pelajar yang pernah bersekolah (mantan pelaku) di SMA N 1 Depok, yang
bernama Novan dan Dika. Mewawancarai alumni dikarenakan informan tersebut
pernah terlibat langsung dalam sebuah tawuran pelajar di sekolahnya, serta
karena faktor waktu (liburan sekolah) yang menyebabkan saat ini sekolah sedang
libur, dan mempersiapkan penerimaan siswa didik baru (ajaran baru), dan saya
sendiri yang dikejar keberangkatan KKN. Kedua, sumber data sekunder. Sumber
data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari dokumen- dokumen dan catatan
yang sesuai dengan sasaran penelitian. Dokumen dan catatan yang digunakan
sebagai sumber data sekunder terdiri atas penelitian sebelumnya, dokumentasi yang menunjukkan gambar sekolah serta
aktifitas tawuran antar pelajar.
Pengambilan data atau wawancara sendiri dilakukan pada
tanggal 30 Juni 2012 bertempat di rumah informan, yang berada di daerah Berbah,
Sleman, Yogyakarta. Berikut daftar pertanyaan (indepht interview) yang saya
ajukan kepada informan:
1.
Apakah
pernah ikut tawuran antar pelajar sewaktu masih bersekolah di SMA N 1 Depok?
2.
Mengapa
ikut tawuran?
3.
Apa
tawuran di mata anda dulu (ketika masih SMA) dan sekarang?
4.
Apa
tau dampak tawuran untuk diri sendiri, keluarga, dan sekolah?
Pembahasan
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja
digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency).
Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis
delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1.
Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang
“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat
adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2.
Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di
dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja
akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah
para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan
yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
Dari
hasil wawancara yang telah dilakukan dengan informan yang pernah melakukan dan
terlibat langsung dengan kegiatan tawuran, diperoleh hasil bahwa kedua informan
ikut terlibat dalam tawuran karena ikut-ikutan teman, dan atas dasar
solidaritas. mereka juga ikut tawuran juga ketika mereka bersekolah di SMA
tersebut, sebelumnya mereka hanya tau tawuran sebatas tau saja, tanpa pernah
ikut langsung. “ajaran” turun temurun dari kakak kelas, dan pendahulunya juga
memicu mereka mau tak mau ikut tawuran. Sekolah mereka punya geng ‘Tawur” yang
bernama BBC (Barikade Bocah Cuek). Bila mereka tak ikut terlibat tawuran seperti
ada rasa tidak keren, tidak sohib dengan teman, sampai tidak cinta sekolah
sendiri. Adanya sekolah-sekolah “musuh” yang didalamnya juga terdapat geng-geng
pelajar juga terus membuat tawuran ini seperti aksi wajib ketika menginjak kaki
SMA. Pemicu tawuran juga beragam, dari masalah pacar, atau perempuan, saling
ejek antar pelajar lain sekolah, senggolan badan ketika melihat pentas seni
sampai tulisan nama geng sekolah di dinding atau aspal jalanan, yang dicoret
dan diganti dengan nama geng sekolah musuh.
Mengapa
bisa bermusuhan dengan sekolah lain atau “geng” sekolah lain. Kedua responden
juga tidak tau. Yang mereka tau hanya sekolah mereka itu, BBC , bermusuhan
dengan Ranger atau SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, bermusuhan pula dengan GNZ
atan SMA N 9 Yogyakarta. Yang hanya tau bila ada masalah yang muncul dan
melibatkan mereka dan musuh mereka, artinya akan ada tawuran antar pelajar.
Yang mereka tau ada semacam regenerasi dari kakak angkatan mereka, kepada
mereka atas musuh sekolah lain itu. Mereka umunya diceritakan
pengalaman-pengalaman kakak kelas mereka saat tawuran dengan sekolah lain dan
masalah apa yang menyebabkannya. Cerita-cerita itu seperti cerita “dendam” yang
terus menerus dan diceritakan sebagai suatu proses regenerasi “geng” sekolah. Dalam tawuran selain acara olok,
mengolok, serang dengan tangan kosong,
ataupun senjata, adapula “nglitih” atau memberhentikan , memalak , dan
menganiaya pelajar sekolah lain yang dicap sebagai musuh mereka bila tak sengaja
berpapasan di jalanan. Yang paling parah malah menelanjangi pelajar yang
bersekolah di sekolah “musuh” mereka di jalanan.
Kedua
responden yang saya wawancarai ini memiliki jawaban yang sama terkait tawuran
pelajar yang mereka lakukan yaitu perbuatan itu salah. Salah di mata hukum,
norma masyarakat, dan mengakibatkan berlakunya sangsi di sekolah ketika
perbuatan yang mereka lakukan itu menelan korban. Memang tidak sampai ada
korban jiwa hanya ada luka-luka, merusak
fasilitas umum dan sekolah ketika jaman mereka dulu. Arti tawuran dimata responden
sekarang, ketika mereka berdua telah menempuh bangku kuliah juga berbeda.
Mereka sekarang malah tertawa mengingat perbuatan mereka dulu sewaktu SMA “buat
cerita anak cucu nanti” katanya. Mereka melihat tawuran yang pernah mereka
lakukan sebagai sebuah jalan yang mereka pilih ketika mereka ada di dalam masa
remaja. “Masa yang indah ntuk dikenang, wajar lah masih muda itu nakal “.
Yang
menarik adalah ketika kedua responden bercerita tentang bersatunya musuh untuk
melawan musuh lain. Dalam tawuran antar pelajar yang pernah mereka lakukan, tak
jarang terjadi ketika akan terjadi tawuran dalam skala yang lebih besar, para
musuh bersatu untuk melawan musuh lain yang berasal dari luar kota, atau luar
sekolah (bukan geng sekolah). Pertemanan sesaat para musuh itu biasanya
dibarengi dengan nongkrong bareng, dan minum-minuman beralkohol serta rokok
sebagai pelengkap.
Lucunya
ketika saat ini para informan sudah menginjak bangku kuliah, dan bertemu dengan
teman kuliah yang berasal dari SMA musuh, mereka sama sekali tidak ada dendam.
Saat mereka sudah keluar atau lulus dari SMA rasa permusuhan dengan sekolah
musuh hilang dan berganti dengan rasa pertemanan pada umumnya.
Orang
tua mereka tidak tau mereka tergabung dalam geng sekolah seperti itu, yang
diketahui oelh orang tua mereka hanyalah sangsi yang diberikan sekolah karena
kenakalan yang mereka buat. Tidak pernah ada sosialisasi dari orang tua mereka
mengenai tawuran. Hanya ada dari guru dan sekolah, tapi itupun dilakukan bila
tawuran telah terjadi dan menimbulkan kerugian.
Dampak
tawuran sendiri juga dirasakan para informan, mereka di cap anak nakal oleh
sekolah dan kedua orangtuanya. Mereka juga biasa mendapat sangsi dari guru
ataupun sekolah karena perbuatan tawuran mereka. Mereka berdua hanya mendapat
skorsing point ataupun skorsing belajar dirumah, tidak sampai dikeluarkan dari
sekolah. Namun ada pula teman-teman mereka yang di DO (drop out) atau
dikeluarkan dari sekolah karena melakukan tawuran sampai merusak fasilitas
umum, ataupun sekolah, dan mencederai pelajar lain sampai parah. Namun apapun
dampaknya, mereka tetap melakukan
kegiatan itu bila sekolah mereka mendapat masalah dengan sekolah atau
musuh mereka, atas dasar membela sekolah dan rekan sesama pelajar.
Catatan
kritis
Bagaimana kaitannya tawuran pelajar ini dengan teori
diatas? Dalam behaviorisme tingkah laku
manusia dibenbtuk dan dikontrol karena adanya stimulus dari lingkungan. Hal
yang sama juga terjadi ketika pemuda remaja tersebut bersekolah di SMA N
1Depok, dimana lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang sudah tenar akan
tawuran dan jalan kekerasan yang dipilih pelajarnya bila mereka mendapat
masalah dengan pelajar sekolah lain. Lingkungan yang demikianlah yang membawa
pengaruh atau menjadi stimulus bagi diri tiap pelajar, khususnya pelajar
laki-laki. Pelajar tersebut juga meniru tingkah laku kaka kelas mereka untuk
bertindak seperti tersebut. Terjadi pembelajaran tingkah laku yang diserap oleh
masing-masing individu tiap pelajar, atau bisa pula dikatakan terjadi
regenerasi angkatan tawuran dari kakak angkatan ke adik angkatan melalui
pembelajaran tinngkah laku tawur atau kekerasan.
Paradigma
sosial-konflik, pandangan yang melihat masyarakat sebagai arena tempat
berlangsungnya konflik akibat adanya kepentingan yang tidak sejalan dari
berbagai kelompok. Ini juga terjadi dalam tawuran pelajar yang melibatkan
pelajar SMA N 1 Depok, dimana mereka
tawuran dipicu oleh kepentingan yang berseberangan antara mereka dengan
kelompok pelajar lainnya. Kepentingan mereka pada dasarnya sama yaitu asas
primordialisme mereka terhadap sekolah dan kelompok mereka. Mereka ingin
sekolah atau kelompok mereka itu unggul di mata kelompok lain. Kepentingan yang sama itu kemudian berubah
menjadi boomerang pemicu konflik yang sering terjadi diantara kelompok pelajar
tersebut. Masalah-masalah perebutan perempuan, pacar atau tidak sengaja saling
olok dijalan menjadi pemercik api tawuran di antara mereka.
West
dalam (Sutoyo. J, 1955;40) menyatakan bahwa secara psikologis agresitivitas
disebabkan oleh adanya rasa frustasi yang kronik dan kepuasan instinktif.
Sedang agresitivitas yang ditujukan terhadap benda (vandalisme) merupakan katup
pengaman digunakannya agresi terhadap orang. Martin, 1961 dalam (Sutoyo
J,1955:41) menyebutkan tentang vandalisme, menyimpulkan bahwa vandalisme yang
dilakukan remaja biasanya dilakukan oleh laki-laki, usia muda, lebih cenderung
melakukan dalam kelompok daripada yang sering dilakukan oleh delinkuen muda.
Studi
sosiologis terhadap agresitivitas menyimpulkan beberapa fakta, yaitu: bahwa
laki-laki cenderung melakukan kekerasan daripada wanita. Agresi bersifat mudah
menjalar, maksudnya adalah dengan melihat dilakukannya kekerasan dapat
mendorong melakukan hal yang serupa. Membayangkan tindak kekerasan sama halnya
menyaksikan kekerasan dapat mendorong dilakukannya agresi. Frustasi
kadang-kadang mendorong dilakukannya penyerangan. Orang tua tidak menyukai
anknya sendiri menghasilkan anak yang cenderung melakukan kekerasan. Kekerasan
yang dibenarkan diberi toleransi. Orang yang melakukan kekerasan menyukai
tindakan kekerasan.
Adapula
studi tentang geng sekolah, dimana sumber perkelahian antar geng adalah: Orang
dewasa mensponsori dan mengendalikan pranata yang lebih luas. Sekolah-sekolah,
lapangan kerja, pranata sosial, polisi, dan aparat lain yang mewakili
“otoritas” dewasa. Orientasi mereka adalah kelas menengah, mereka mengajarkan
dan mungkin percaya bahwa manfaat dan sukses berasal dari kerja keras, menunda
kesenangan, pengendalian diri, nilai yang bagus, perilaku yang baik, menabung
dan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi yang diakui. Anak-anak muda dalam
geng atau kelompok sekolah tidak punya standar tersebut. Tertutupnya jalan yang
sah kemudian membawa mereka ke jalur yang tidak sah.[8]
Kembali lagi pada aspek psikologis, Berikut ini adalah
faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar,diantaranya :
a. Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang
berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan
permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang
melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan
yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan
keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang
semakin lama semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan
lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih
dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi
para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya
mudah friustasi, tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap
orang-orang disekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran
dirinya ditengah-tengah orang-orang sekeliling.
b. Faktor
Eksternal
1. Faktor Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan.
Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya
maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan
karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu ketidak
harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan
oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak
menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya
psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
2. Faktor Sekolah
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan para siswa pandai secara
akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk
para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa
menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya
kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya disekolah tidak jarang
ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik
anak muruidnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui
kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran
guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang
baik.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja.
Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan
remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat
akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini membuat remaja
bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu
senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.
Agenda aksi dan penutup
Tawuran ini
menjadi masalah pelik yang tak tau ujung penyelesaian, dan akhirnya. Masalah
ini akan terus saja ada dan terjadi karena seperti di awal tadi bahwa sudah ada
regenerasi penerus geng atau penerus kelompok yang sudah diset sedemikian rupa
agar bisa terus membela nama kelompok
dan sekolah mereka. Menurut saya mungkin ini merupakan masalah yang dimulai
dari lemahnya pengendalian sosial dan sosialisasi, terkait keadaan remaja yang
masih dalam fase transisi. Pengendalian diri yag tidak stabil dari dalam diri
serta tidak adanya kontrol dari pihak luar menyebabkan dia mudah terpengaruh
untuk melakukan aksi tersebut. Cara ini sebagai aksi mereka menunjukkkan
identitas diri mereka.
Lalu apa
yang harus kita lakukan agar tawuran ini tidak lagi menjadi trend dalam masa
putih abu-abu mereka? Kita bisa memulainya dengan pengendalian sosial dan
sosialisasi di semua elemen yang ada di sekitar pemuda remaja tersebut,
keluarga, gru sekolah, serta masyarakat sama-sama harus menanamkan dan
mengajarkan pada pemuda remaja tersebut bagaimana mereka menapaki masa transisi
mereka dan bagaimana mereka menyalurkan identitas mereka itu ke dalam wadah
yang positif dan jauh dari kata kekerasan ataupun anarkhis.
Ini
merupakan langkah yang cukup sulit, mengingat tawuran sekolah ini sudah
mengakar dan sulit untuk dicabut dan digantikan dengan pohon baru yang aman dan
damai. Menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk kita semua untuk mewujudkan itu
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Albin,
Rochelle Semmel. 1994. Emosi.
Yogyakarta: Kanisius
Hendrarso,
Emy Susanti.2005.Metode Penelitian Sosial.Jakarta:Kencana
Prenada Media Group
J.
Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian
Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Meinarno, Eko.
A. Dkk. 2011. Manusia dalam Kebudayaan
dan Masyarakat. Jakarta:Salemba Humanika.
Sutoyo,
Johannes. 1955. Anak dan Kejahatan.
Jakarta: FISIP UI.
Usman,
Sunyoto.2005.Pengantar Metodologi Sosial,
Diktat Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (Belum
Diterbitkan), Yogyajkarta
[1] Diunduh dari artikata.com,
definisi pemuda
[2]
http://www.tutorialto.com/lainnya/1127-pengertian-tawuran.html
[3] Meinarno, Eko. A. Dkk. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat.
Jakarta:Salemba Humanika. Hal: 268 tentang teori Behaviorisme
[4] Ibid, tentang Teori konflik Karl
Marx
[5] J. Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Hal 5
[6] Hendrarso, Emy Susanti.2005.Metode Penelitian Sosial.Jakarta:Kencana
Prenada Media Group.hlm 165
[7]
Usman, Sunyoto.2005.Pengantar
Metodologi Sosial, Diktat Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (Belum
Diterbitkan), Yogyajkarta, Hal, 19.
[8] Sutoyo, Johannes. 1955. Anak dan
Kejahatan. Jakarta: FISIP UI. Hal: 42 tentang sumber perkelahian geng sekolah.