Senin, 26 November 2012

“Pemuda dalam Transisi” Kubela Rekan dan Sekolahku (Tawuran Antar Pelajar SMA)


PAPER
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Kapita Selekta Sosiologi
Dosen: Prof. Sunyoto Usman, M. Najib Azca, Ph.D, dan Oki Rahadianto, M.Si
“Pemuda dalam Transisi”
Kubela Rekan dan Sekolahku
(Tawuran  Antar Pelajar SMA)

Oleh:
Ida Dian Jayanti
09/282030/SP/23371


JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

Latar Belakang
Pemuda adalah orang muda Laki-laki; remaja; teruna: para -- ini akan menjadi pemimpin bangsa; atau orang yg masih muda; orang muda: - harapan bangsa;[1] Pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan Negara bangsa dan agama. Selain itu pemuda mempunyai peran sebagai pendekar intelektual dan  pendekar social. pemuda dikatakan  mempunyai ide-ide atau gagasan yang perlu dikembangkan selain itu juga berperan sebagai perubah Negara dan bangsa ini. Oleh siapa lagi membangun negara yang carut marut ini, kalau bukan oleh generasi selanjutnya maka dari itu para pemuda harus memnpunyai ilmu yang tinggi dengan cara sekolah ataumenimba ilmu sebanyak mungkin , dengan begitu bangsa ini akan maju aman dan sentosa.
Pemuda selain mengemban tugas tersebut juga dihadapkan pada kenyataan dimana dirinya tengah berada di masa transisi diantara anak-anak dan dewasa. Pemuda punya waktu luang dan keinginan untuk bersenang-senang. Dalam masa transisi atau perubahannya menuju kedewasaan inilah,  mereka kerap kali melakukan perbuatan yang salah namun mereka anggap benar, dalam prosessnya mencari jati diri. Jalan kekerasan menjadi jalan yang kerap dipilih  para pemuda untuk penyelesaikan persilisihan atau silang pendapat yang terjadi di dalam kehidupan bersekolahnya. bukannya mencari ilmu disekolah para pemuda  atau dalam hal ini adalah pelajar malah  tindakan tidak terpuji  berkelahi dengan sesama pelajar lain atau bahkan tawuran.  Tawuran merupakan suatu kegiatan perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat.[2] Tawuran pelajar menjadi masalah pemuda yang umumnya masih berusia remaja. Tawuran ini menajadi isu yang disoroti dan seperti tak pernah habis untuk terus dibahas dan dikaji.
            Dikota kita sendiri Yogyakarta,  yang terkenal dengan nama kota pelajar, tawuran juga dianggap sebagai hal yang sudah biasa dan menjadi rahasia umum di masyarakat. Hampir di tiap sekolah, khususnya sekolah menengah atas atau SMA baik negeri ataupun swasta mempunyai geng sekolah, dan melakukan aksi tawuran dengan pelajar sekolah lain yang dianggap atau dicap sebagai musuh sekolah mereka. “mode” tawuran pelajar ini juga terjadi di salah satu sekolah di pinggiran kota Yogyakarta, yaitu Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Depok Yogyakarta (SMA N 1 Depok).

Sekolah ini terletak di timur kota Yogyakarta, tepatnya di Jalan Babarsari Yogyakarta, dapat ditempuh kurang lebih selama 10- 15 menit dari pusat kota dengan kendaraan bermotor. Sekolah Menengah ini termasuk sekolah negeri favorit, kerena aksesnya yang mudah, sarana dan fasilitas yang lengkap ,  dan karena prestasi akademiknya yang cukup bagus. Sekolah ini  juga merupakan sekolah  yang melahirkan artis ibukota seperti Plat AB serta Citra Idol. Namun selain prestasi dan fasilitas yang bagus, sekolah ini juga terkenal dengan tawuran  yang dilakukan oleh para pelajarnya.  Bahkan di sekolah ini juga terkenal dengan geng sekolahnya BBC (Barikade Bocah Cuek). Lalu sebenarnya apa yang melatar belakangi para pelajar pemuda ini melakukan tawuran yang jelas-jelas salah dimata hukum dan norma sosial masyarakat?
Rumusan Masalah
Apa motif pelajar SMA N 1 Depok Yogyakarta melakukan tawuran? Bagaimana melihat tawuran ini dari kacamata sosiologis dan psikologis?
Tujuan
            Melihat lebih dalam apa sebenarnnya yang menyebabkan tawuran di kalangan pemuda, khususnya pelajar à (SMA N 1 Depok Yogyakarta).
            Mengetahui arti tawuran dimata para mantan pelaku tawuran pelajar, ketika ia masih menjadi pelajar, dan setelah ia lulus dari sekolah SMA N 1 Depok.
Kerangka Konseptual
            Aliran Behaviorisme , atau behavioristik , aliran psikologi ini melihat tingkah laku manusia dibenbtuk dan dikontrol karena adanya stimulus dari lingkungan. Stimulus lingkungan inilah yang membuat seseorang untuk merespons. JB. Watson mengemukakan jika tingkah laku tersebut hanya dapat diamati secara nyata dan bukan yang tidak dapat terlihat. Lebih lanjut BF Skinner berpendapat mengenai Stimulus Response dan operant conditioning. Respon disebut sebagai operant karena operasional dalam mendatangkan reinforcement. Asumsinya adalah peerilaku mengikuti hukum perilaku, perilaku dapat diramalkan dan dapat dikontrol. Kemudian lebih lanjut tingkah laku terbentuk karena hasil belajar dengan lingkungan. Belajar dari lingkugan akan mempengaruhi kepribadian seseorang secara tidak langsung.[3]
            Paradigma sosial-konflik, pandangan yang melihat masyarakat sebagai arena tempat berlangsungnya konflik akibat adanya kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai kelompok. Menurut Marx, ditiap masyarakat terdapat kelas sosial yang mana berkuasa dan dikuasai. Masyarakat terdiri dari sistem yang kompleks yang ditandai dengan ketidak setaraan dan konflik.[4]
           
Metode Penelitian
            Penelitian sederhana ini menggunakan  metode deskripsi kualitatif. Secara umum penelitian kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi serta tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Secara spesifik, Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai bentuk tradisi tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasan maupun dalam peristilahannya. [5]Metode kualitatif merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik suatu fenomena sosial dalam masyarakat. Metode kualitatif mampu memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan metode kuantitatif lewat data yang berbasis angka dan uji statistik. Karena melalui penyajian data kualitatif yang bersifat deskriptif berupa kata-kata secara lisan maupun hasil dari pengamatan tingkah laku manusia sebagai obyek yang diteliti. Dalam prosesnya metode ini tidak mereduksi adanya kompleksitas dalam kehidupan sosial ke dalam bentuk variabel-variabel yang berbeda seperti halnya metode penelitian kuantitatif. [6] Hal tersebut dikarenakan tiap variabel yang ada dalam fenomena sosial masyarakat saling berkaitan dan berhubungan satu sama lain.
            Secara umum pendekatan kualitatif dibedakan menjadi dua yaitu diskripsi
kualititatf dan eksplanatif. Metode diskripsi kualitatif bertujuan untuk memahami dan menjelaskan rentangan perbedaan dan persamaan karakter yang melekat pada suatu fenomena. Perbedaan dan persamaan karakter kemudian diletakkan sebagai basis eksplanasi.[7]Dalam penelitian ini, deskripsi kualitatif digunakan sebagai mata pisau pembedaha fenomena sosial pelajar yaitu tawuran yang terjadi di kalangan pelajar pemuda SMA N 1 Depok Yogyakarta. Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua. Pertama, sumber data primer. Sumber data primer merupakan sumber data utama yang diperoleh dari penelitian lapangan. Terdiri dari hasil wawancara mendalam (in-dept interview) yang dilakukan terhadap informan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah 2 orang pelaku tawuran pelajar yang pernah bersekolah (mantan pelaku) di SMA N 1 Depok, yang bernama Novan dan Dika. Mewawancarai alumni dikarenakan informan tersebut pernah terlibat langsung dalam sebuah tawuran pelajar di sekolahnya, serta karena faktor waktu (liburan sekolah) yang menyebabkan saat ini sekolah sedang libur, dan mempersiapkan penerimaan siswa didik baru (ajaran baru), dan saya sendiri yang dikejar keberangkatan KKN. Kedua, sumber data sekunder. Sumber data sekunder dari penelitian ini diperoleh dari dokumen- dokumen dan catatan yang sesuai dengan sasaran penelitian. Dokumen dan catatan yang digunakan sebagai sumber data sekunder terdiri atas penelitian sebelumnya, dokumentasi  yang menunjukkan gambar sekolah serta aktifitas tawuran antar pelajar.
Pengambilan data atau wawancara sendiri dilakukan pada tanggal 30 Juni 2012 bertempat di rumah informan, yang berada di daerah Berbah, Sleman, Yogyakarta. Berikut daftar pertanyaan (indepht interview) yang saya ajukan kepada informan:
1.      Apakah pernah ikut tawuran antar pelajar sewaktu masih bersekolah di SMA N 1 Depok?
2.      Mengapa ikut tawuran?
3.      Apa tawuran di mata anda dulu (ketika masih SMA) dan sekarang?
4.      Apa tau dampak tawuran untuk diri sendiri, keluarga, dan sekolah?


Pembahasan
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik.
1. Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat.
2. Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah para  remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dengan informan yang pernah melakukan dan terlibat langsung dengan kegiatan tawuran, diperoleh hasil bahwa kedua informan ikut terlibat dalam tawuran karena ikut-ikutan teman, dan atas dasar solidaritas. mereka juga ikut tawuran juga ketika mereka bersekolah di SMA tersebut, sebelumnya mereka hanya tau tawuran sebatas tau saja, tanpa pernah ikut langsung. “ajaran” turun temurun dari kakak kelas, dan pendahulunya juga memicu mereka mau tak mau ikut tawuran. Sekolah mereka punya geng ‘Tawur” yang bernama BBC (Barikade Bocah Cuek). Bila mereka tak ikut terlibat tawuran seperti ada rasa tidak keren, tidak sohib dengan teman, sampai tidak cinta sekolah sendiri. Adanya sekolah-sekolah “musuh” yang didalamnya juga terdapat geng-geng pelajar juga terus membuat tawuran ini seperti aksi wajib ketika menginjak kaki SMA. Pemicu tawuran juga beragam, dari masalah pacar, atau perempuan, saling ejek antar pelajar lain sekolah, senggolan badan ketika melihat pentas seni sampai tulisan nama geng sekolah di dinding atau aspal jalanan, yang dicoret dan diganti dengan nama geng sekolah musuh.
            Mengapa bisa bermusuhan dengan sekolah lain atau “geng” sekolah lain. Kedua responden juga tidak tau. Yang mereka tau hanya sekolah mereka itu, BBC , bermusuhan dengan Ranger atau SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta, bermusuhan pula dengan GNZ atan SMA N 9 Yogyakarta. Yang hanya tau bila ada masalah yang muncul dan melibatkan mereka dan musuh mereka, artinya akan ada tawuran antar pelajar. Yang mereka tau ada semacam regenerasi dari kakak angkatan mereka, kepada mereka atas musuh sekolah lain itu. Mereka umunya diceritakan pengalaman-pengalaman kakak kelas mereka saat tawuran dengan sekolah lain dan masalah apa yang menyebabkannya. Cerita-cerita itu seperti cerita “dendam” yang terus menerus dan diceritakan sebagai suatu proses regenerasi “geng” sekolah.  Dalam tawuran selain acara olok, mengolok,  serang dengan tangan kosong, ataupun senjata, adapula “nglitih” atau memberhentikan , memalak , dan menganiaya pelajar sekolah lain yang dicap sebagai musuh mereka bila tak sengaja berpapasan di jalanan. Yang paling parah malah menelanjangi pelajar yang bersekolah di sekolah “musuh” mereka di jalanan.
            Kedua responden yang saya wawancarai ini memiliki jawaban yang sama terkait tawuran pelajar yang mereka lakukan yaitu perbuatan itu salah. Salah di mata hukum, norma masyarakat, dan mengakibatkan berlakunya sangsi di sekolah ketika perbuatan yang mereka lakukan itu menelan korban. Memang tidak sampai ada korban jiwa hanya ada  luka-luka, merusak fasilitas umum dan sekolah ketika jaman mereka dulu. Arti tawuran dimata responden sekarang, ketika mereka berdua telah menempuh bangku kuliah juga berbeda. Mereka sekarang malah tertawa mengingat perbuatan mereka dulu sewaktu SMA “buat cerita anak cucu nanti” katanya. Mereka melihat tawuran yang pernah mereka lakukan sebagai sebuah jalan yang mereka pilih ketika mereka ada di dalam masa remaja. “Masa yang indah ntuk dikenang, wajar lah masih muda itu nakal “.
            Yang menarik adalah ketika kedua responden bercerita tentang bersatunya musuh untuk melawan musuh lain. Dalam tawuran antar pelajar yang pernah mereka lakukan, tak jarang terjadi ketika akan terjadi tawuran dalam skala yang lebih besar, para musuh bersatu untuk melawan musuh lain yang berasal dari luar kota, atau luar sekolah (bukan geng sekolah). Pertemanan sesaat para musuh itu biasanya dibarengi dengan nongkrong bareng, dan minum-minuman beralkohol serta rokok sebagai pelengkap.
            Lucunya ketika saat ini para informan sudah menginjak bangku kuliah, dan bertemu dengan teman kuliah yang berasal dari SMA musuh, mereka sama sekali tidak ada dendam. Saat mereka sudah keluar atau lulus dari SMA rasa permusuhan dengan sekolah musuh hilang dan berganti dengan rasa pertemanan pada umumnya.
            Orang tua mereka tidak tau mereka tergabung dalam geng sekolah seperti itu, yang diketahui oelh orang tua mereka hanyalah sangsi yang diberikan sekolah karena kenakalan yang mereka buat. Tidak pernah ada sosialisasi dari orang tua mereka mengenai tawuran. Hanya ada dari guru dan sekolah, tapi itupun dilakukan bila tawuran telah terjadi dan menimbulkan kerugian.
            Dampak tawuran sendiri juga dirasakan para informan, mereka di cap anak nakal oleh sekolah dan kedua orangtuanya. Mereka juga biasa mendapat sangsi dari guru ataupun sekolah karena perbuatan tawuran mereka. Mereka berdua hanya mendapat skorsing point ataupun skorsing belajar dirumah, tidak sampai dikeluarkan dari sekolah. Namun ada pula teman-teman mereka yang di DO (drop out) atau dikeluarkan dari sekolah karena melakukan tawuran sampai merusak fasilitas umum, ataupun sekolah, dan mencederai pelajar lain sampai parah. Namun apapun dampaknya, mereka tetap melakukan  kegiatan itu bila sekolah mereka mendapat masalah dengan sekolah atau musuh mereka, atas dasar membela sekolah dan rekan sesama pelajar.
Catatan kritis
            Bagaimana kaitannya tawuran pelajar ini dengan teori diatas? Dalam behaviorisme tingkah laku manusia dibenbtuk dan dikontrol karena adanya stimulus dari lingkungan. Hal yang sama juga terjadi ketika pemuda remaja tersebut bersekolah di SMA N 1Depok, dimana lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang sudah tenar akan tawuran dan jalan kekerasan yang dipilih pelajarnya bila mereka mendapat masalah dengan pelajar sekolah lain. Lingkungan yang demikianlah yang membawa pengaruh atau menjadi stimulus bagi diri tiap pelajar, khususnya pelajar laki-laki. Pelajar tersebut juga meniru tingkah laku kaka kelas mereka untuk bertindak seperti tersebut. Terjadi pembelajaran tingkah laku yang diserap oleh masing-masing individu tiap pelajar, atau bisa pula dikatakan terjadi regenerasi angkatan tawuran dari kakak angkatan ke adik angkatan melalui pembelajaran tinngkah laku tawur atau kekerasan.
            Paradigma sosial-konflik, pandangan yang melihat masyarakat sebagai arena tempat berlangsungnya konflik akibat adanya kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai kelompok. Ini juga terjadi dalam tawuran pelajar yang melibatkan pelajar SMA  N 1 Depok, dimana mereka tawuran dipicu oleh kepentingan yang berseberangan antara mereka dengan kelompok pelajar lainnya. Kepentingan mereka pada dasarnya sama yaitu asas primordialisme mereka terhadap sekolah dan kelompok mereka. Mereka ingin sekolah atau kelompok mereka itu unggul di mata kelompok lain.    Kepentingan yang sama itu kemudian berubah menjadi boomerang pemicu konflik yang sering terjadi diantara kelompok pelajar tersebut. Masalah-masalah perebutan perempuan, pacar atau tidak sengaja saling olok dijalan menjadi pemercik api tawuran di antara mereka.
            West dalam (Sutoyo. J, 1955;40) menyatakan bahwa secara psikologis agresitivitas disebabkan oleh adanya rasa frustasi yang kronik dan kepuasan instinktif. Sedang agresitivitas yang ditujukan terhadap benda (vandalisme) merupakan katup pengaman digunakannya agresi terhadap orang. Martin, 1961 dalam (Sutoyo J,1955:41) menyebutkan tentang vandalisme, menyimpulkan bahwa vandalisme yang dilakukan remaja biasanya dilakukan oleh laki-laki, usia muda, lebih cenderung melakukan dalam kelompok daripada yang sering dilakukan oleh delinkuen muda.
            Studi sosiologis terhadap agresitivitas menyimpulkan beberapa fakta, yaitu: bahwa laki-laki cenderung melakukan kekerasan daripada wanita. Agresi bersifat mudah menjalar, maksudnya adalah dengan melihat dilakukannya kekerasan dapat mendorong melakukan hal yang serupa. Membayangkan tindak kekerasan sama halnya menyaksikan kekerasan dapat mendorong dilakukannya agresi. Frustasi kadang-kadang mendorong dilakukannya penyerangan. Orang tua tidak menyukai anknya sendiri menghasilkan anak yang cenderung melakukan kekerasan. Kekerasan yang dibenarkan diberi toleransi. Orang yang melakukan kekerasan menyukai tindakan kekerasan.
            Adapula studi tentang geng sekolah, dimana sumber perkelahian antar geng adalah: Orang dewasa mensponsori dan mengendalikan pranata yang lebih luas. Sekolah-sekolah, lapangan kerja, pranata sosial, polisi, dan aparat lain yang mewakili “otoritas” dewasa. Orientasi mereka adalah kelas menengah, mereka mengajarkan dan mungkin percaya bahwa manfaat dan sukses berasal dari kerja keras, menunda kesenangan, pengendalian diri, nilai yang bagus, perilaku yang baik, menabung dan menjadi seorang pemimpin dalam organisasi yang diakui. Anak-anak muda dalam geng atau kelompok sekolah tidak punya standar tersebut. Tertutupnya jalan yang sah kemudian membawa mereka ke jalur yang tidak sah.[8]
Kembali lagi pada aspek psikologis, Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar,diantaranya :
a.              Faktor Internal
Faktor internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi, tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya. Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah orang-orang sekeliling.

b.       Faktor Eksternal
1.      Faktor Keluarga
Keluarga adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu ketidak harmonisan keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan  yang dilakukan oleh pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
2.      Faktor Sekolah
Sekolah tidak hanya untuk menjadikan  para siswa pandai secara akademik namun juga pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk para siswa mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa menjadi wadah untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran yang bermutu. Contohnya  disekolah tidak jarang ditemukan ada seorang guru yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik anak muruidnya akhirnya guru tersebut menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru oleh para siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk menjadi seorang pendidik yang memiliki kepribadian yang baik.

3.        Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar disekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.
Agenda aksi dan penutup
Tawuran ini menjadi masalah pelik yang tak tau ujung penyelesaian, dan akhirnya. Masalah ini akan terus saja ada dan terjadi karena seperti di awal tadi bahwa sudah ada regenerasi penerus geng atau penerus kelompok yang sudah diset sedemikian rupa agar bisa terus membela nama  kelompok dan sekolah mereka. Menurut saya mungkin ini merupakan masalah yang dimulai dari lemahnya pengendalian sosial dan sosialisasi, terkait keadaan remaja yang masih dalam fase transisi. Pengendalian diri yag tidak stabil dari dalam diri serta tidak adanya kontrol dari pihak luar menyebabkan dia mudah terpengaruh untuk melakukan aksi tersebut. Cara ini sebagai aksi mereka menunjukkkan identitas diri mereka.
Lalu apa yang harus kita lakukan agar tawuran ini tidak lagi menjadi trend dalam masa putih abu-abu mereka? Kita bisa memulainya dengan pengendalian sosial dan sosialisasi di semua elemen yang ada di sekitar pemuda remaja tersebut, keluarga, gru sekolah, serta masyarakat sama-sama harus menanamkan dan mengajarkan pada pemuda remaja tersebut bagaimana mereka menapaki masa transisi mereka dan bagaimana mereka menyalurkan identitas mereka itu ke dalam wadah yang positif dan jauh dari kata kekerasan ataupun anarkhis.
Ini merupakan langkah yang cukup sulit, mengingat tawuran sekolah ini sudah mengakar dan sulit untuk dicabut dan digantikan dengan pohon baru yang aman dan damai. Menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk kita semua untuk mewujudkan itu semua.


DAFTAR PUSTAKA
Albin, Rochelle Semmel. 1994. Emosi. Yogyakarta: Kanisius
Hendrarso, Emy Susanti.2005.Metode Penelitian Sosial.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
J. Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Meinarno, Eko. A. Dkk. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta:Salemba Humanika.

Sutoyo, Johannes. 1955. Anak dan Kejahatan. Jakarta: FISIP UI.

Usman, Sunyoto.2005.Pengantar Metodologi Sosial, Diktat Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (Belum Diterbitkan), Yogyajkarta



[1] Diunduh dari artikata.com, definisi pemuda
[2] http://www.tutorialto.com/lainnya/1127-pengertian-tawuran.html
[3] Meinarno, Eko. A. Dkk. 2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta:Salemba Humanika. Hal: 268 tentang teori Behaviorisme
[4] Ibid, tentang Teori konflik Karl Marx
[5] J. Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Hal 5
[6] Hendrarso, Emy Susanti.2005.Metode Penelitian Sosial.Jakarta:Kencana Prenada Media Group.hlm 165
[7]  Usman, Sunyoto.2005.Pengantar Metodologi Sosial, Diktat Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (Belum Diterbitkan), Yogyajkarta, Hal,  19.


[8] Sutoyo, Johannes. 1955. Anak dan Kejahatan. Jakarta: FISIP UI. Hal: 42 tentang sumber perkelahian geng sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar