Rabu, 16 Juli 2014

Review Buku “ BIRAHI MAYA “ (MENGINTIP PEREMPUAN DALAM CYBERPORN) Penulis: Ellys Lestari Pembayun Cetakan I, Oktober 2010 Penerbit: Nuansa








Buku “Birahi Maya (Mengintip Perempuan dalam Cyberporn)”  ini memperlihatkan pada kita bahwa berkembangnya ilmu pengetahuan teknologi dalam hal ini adalah internet selain membawa manfaat yang besar, juga membawa efek negatif untuk manusia salah satunya adalah pornografi. Buku ini mempunyai topik yang menarik yaitu pornografi dalam dunia maya yang selama ini digambarkan dengan sosok perempuan telanjang, tanpa busana yang  seksi, dan dapat membangkitkan gairah si pengguna internet. Dalam buku ini juga dilengkapi dengan hasil wawancara si penulis dengan para informan, yang dalam hal ini adalah pengguna (konsumen pornografi dunia maya), pelaku pornografi, produser, dan para aktivis feminis. Dilengkapi pula dengan pandangan pandangan penulis menggunakan analisis tokoh-tokoh besar ilmu sosial seperti Foucault, Derrida, Baudrillard, sampai Franfrut School. Memang buku ini lebih mengarah ke topik gender dan feminitas, terlihat dengan analisis si penulis yang menggunakan teori-teori feminis dalam menelaah masalah pornografi maya . Namun,buku ini  saya rasa masih relevan dengan mata kuliah kritik sosial teknologi dimana teknologi  yang ada sekarang juga menyuguhkan sesuatu yang negatif dan tabu (pornografi), sesuatu yang melanggar norma timur kita, khususnya norma agama, namun itu menjadi tema yang “disukai”  dalam masyarakat.
Isi Buku
           Internet, sebuah hasil dari teknologi yang diciptakan guna mempermudah kebutuhan manusia. Di dalam internet manusia bisa menemukan segala macam pengetahuan yang diinginkannya, termasuk seks.  Tidak munafik, seks adalah salah satu kebutuhan menusia dewasa. Seks kemudian hadir di dalam internet, yang membawa manusia ke dalam konsumsi baru. Selain itu seks lewat internet seperti menjerat hastat para penggunanya agar mau melihatnya dan terus menerus menggunakannya. Bahkan remaja sampai anak kecil yang sudah paham penggunaan internet, bisa dengan mudah melihat situs-situs yang semestinya hanya boleh dilihat oleh orang dewasa ini. Seks via internet dalam buku ini dikatakan membawa manusia dalam aktivitas mengintip (to voyeur) dan lama kelamaan menjadikan manusia sebagai pelaku voyeurisme, atau kegiatan mengamati kegiatan seks orang lain (Ronald J. Corner). Sementara Pornografi sendiri berasal dari kata Yunani Kuno yang  berarti, menulis tentang pelacur (Dworkin). Ada dua jenis pornografi, yaitu soft core, atau yang bersifat merangsang imajinasi, dan hard core, atau sajian erotik yang lebih nyata.
           Seiring berkembangnya teknologi, internet juga makin gencar memperlihatkan adegan-adegan seks, dan konten-konten pornografi yang dibuktikan dengan menjamurnya situs-situs porno dalam internet, baik lingkup  lokal maupun internasional. Yang juga disoroti dalam buku ini adalah, perempuan dalam situs seks pornografi  dalam internet. Perempuan menjadi obyek utama dalam cyberporn, perempuan yang telanjang, dan melakukan adegan seronok dan erotis, adegan berhubungan intim dengan orang bahkan sampai dengan binatang,  menjadi konsumsi para konsumen, yang didominasi kaum lelaki. Lalu mengapa perempuan yang dijadikan obyek utama?Perempuan dianggap makhluk yang indah, penurut, pasrah dan punya kelembutan hati. Perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk pasangan laki-laki yang bertugas memuaskan hasrat seks pasangannya. Perempuan yang ada dalam cyberporn itu kemudian menjadi teman fantasi seks dalam pikiran si pengguna situs tersebut. Perempuan dalam cyberporn adalah perempuan hasil komodifikasi yang sengaja disuguhkan untuk pemuas konsumen dunia maya, tontonan porno tersebut kemudian menjadi komodifikasi, dan akhirnya perempuan lah yang menjadi komoditas. Voyeurisme yang tercipta kemudian membawa rangsangan gairah  dan imajinasi baru untuk kaum lelaki tentang seks itu sendiri, misalnya jika melakukan hubungan seks ingin dengan perempuan seperti itu, atau ingin melakukan seks dengan gaya seperti dalam situs itu.
           Hal lainnya adalah dalam buku ini juga menyajikan bahwa pornografi dalam internet (cyberporn) ada karena kapitalisme. Seksualitas yang menjadi barang “tabu” dalam masyarakat kemudian dijadikan komoditas dagangan untuk dilihat dalam media internet oleh para produsen atau produser pembuat pornografi dalam internet. Tiap ada konsumen pengguna cyberporn yang mengeklik tampilan-tampilan dalam situs mereka, keuntungan yang tidak sedikit pun akan didapat. Produser hanya membayar para perempuan model pornografi mereka dengan bayaran tidak seberapa, namun tampilan mereka dalam situs porno, dilihat konsumen ratusan bahkan ribuan kali, implikasinya produser-produser tersebut menjadi raja pasar yang mendapatkan gelimang materi.
           Cyberporn sekarang ini telah menjadi konsumsi masyarakat, situs, web porno menjadi pola hidup baru yang menawarkan kepuasan kepada para konsumennya. Bahkan pornografi dalam internet ini, dinilai lebih aman dan mudah daripada harus mempelajarinya melalui buku, atau bertanya keada orang yang lebih tua dan berpengalaman karena adanya tirai tabu dan rasa malu atau keengganan dalam masyarakat kita bila membicarakan masalah seputar seks. Budaya mengintip atau melihat adegan seks (voyeurisme) menjadi sesuatau yang bebas, tak terbatas usia, waktu, dan tempat dan disadari atau tidak membawa dampak baik itu positif sampai negatif untuk kita semua. Cyberporn sendiri seakan  telah membudaya sekarang ini, banyak orang yang dengan mudah mengaksesnya. Cyberporn mempengaruhi penggunanya, selalu menunggu sesuatu yang baru darinya, dan kehadirannya telah menjadi bagian dari kita.
Interpretasi Isi Buku
           Buku ini saya nilai bagus, isinya sangat menarik, sebuah buku yang ditulis menyajikan sebuah realitas yang tersembunyi dibalik tirai pornografi. Isu yang diangkat yaitu internet yang menyajikan pornografi, merupakan sebuah contoh dari hiperealitas yang sengaja dibuat oleh para produser cyberporn demi menarik keuntungan berlipat. Penciptaan tersebut kemudian berefek pula pada kekuasaan si produser serta tokoh-tokoh di balik layar bisnis pornografi. Tak hanya dampak ekonomi, pornografi ini juga berkait dengan kepentingan  politik, dan budaya dalam masyarakat kita.  Bagaimana perempuan para model porno diatur sedemikian rupa agar bisa berpose dan berakting semenarik mungkin agar gambar atau film yang dibuat untuk situs mereka bagus dan nantinya akan disukai para konsumen. Dari segi seksualitas sendiri, perempuan ditampilkan dalam cyberporn tak lebih dari bagian pencitraan dibuat sedemikian rupa agar bagian sensitifnya (vagina dan payudara) terekspose agar laki-laki, sebagai konsumen terbesarnya libidonya terangsang, dan terstimulasi lewat tayangan-tayangan pornografi. [1]Karena memang keindahan perempuan selain dari kecantikan wajahnya, adalah bentuk badan dan bagian rahasianya, yang berbeda dengan laki-laki, dan seakan sudah dilabeli bahwa itu merupakan sumber sensualitas diri perempuan. Keindahan perempuan, ketidakberdayaannya  juga dipakai untuk memancing hasrat konsumen agar mau dan terus menunggu tampilan-tampilan porno selanjutnya. Kapitalisme dari pornografi ini juga bukti bahwa teknologi yang selalu berkembang ini, tidak bisa dipungkiri merupakan bagian dari roda ekonomi yang akan selalu berputar. Menampilkan perempuan juga bisa pula dipengaruhi oleh anggapan bia ia (produser) tidak menampilkannya makan dagangannya (pornografi) tidak akan laku di pasaran cyberporn. Sebaliknya bila ia berani menampilkannya dengan vulgar dan nuansa yang lain dari yang lain maka dagangannya akan laris manis. Kita tidak bisa menyalahkan pornografi dalam dunia maya, karena itu merupakan sebuah kebutuhan manusia dewasa tentang seks. Kita tidak akan bisa menghapuskannya bahkan memberantasnya.  Dan harus kita akui, situs-situs porno memang memberikan sebuah hal baru tentang seks. Memang menjadi sesuatu yang tabu karena kita tinggal dan hidup dalam konstruksi masyarakat yang menjunjung norma ketimuran yang mengedepankan batasan-batasan kesopanan, dan kesusilaan.  Salah  apabila pornografi dalam internet itu tidak pada tempatnya dan dikonsumsi oleh orang yang belum sepantasnya melihatnya, dan mempraktekkannya dalam masyarakat, terlebih lagi bila sampai mengarah pada hal yang kriminal. Kapitalisme yang terjadi dalam cyberporn juga menjadi sesuatu yang negatif bila itu terjadi secara eksploitatif dan merugikan pihak lain khususnya perempuan para model cyberporn.


Daftar Pustaka
Meliana, Anastasia. 2006. Menjelajah Tubuh (Perempuan dan Mitos Kecantikan). Yogkarta: LkiS.
          


[1] Meliana, Anastasia. 2006. Menjelajah Tubuh (Perempuan dan Mitos Kecantikan). Yogkarta: LkiS. Hal: 137 bentuk tubuh dan seksualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar